Belakangan ini sering kita mendengar bahkan mungkin
merasakan sendiri jika berbagai bencana alam sering singgah di bumi
Nusantara ini. Mulai dari bencana banjir, gempa bumi, longsor hingga
tsunami. Mungkin dari bencana tersebut yang sring kita dengar adalah
gempa bumi dan banjir yang hampir di setiap pelosok Nusantara dapat
mengalaminya. Bencana tersebut tidaklah pandang bulu, segla sesuatu yang
menghalangi pergerakannya dilahapnya. Sehingga kita tidaklah dapat
melawan bencana, kita hanya mampu mencegah dan menanggulangi atau
memperkecil dampak dari kerusakan yang ada.
Ternyata
usaha tersebut telah di pelajari secara tidak langsung oleh para
leluhur kita dahulu. Mungkin sekarang sedikit yang mengetahui dengan
pasti apa saja usaha-usaha penanggulangan tersebut, begitu pula dengan
saya. Namun, lambat laun saya sedikit mengetahuinya dan saya mendapatkan
pengetahuan tersebut juga tidaklah secara langsung melainkan melalui
pemberitaan dari televisi, seringnya saya mendapati tempat-tempat yang
masih melestarikan tradisi dan juga dari pembicaraan orang-orang tua
yang masih hidup saat ini.
Baik, saya akan coba mulai berbagi mengenai kearifan lokal atau mungkin budaya dan pengetahuan lokal Jawa.
Saya akan memberikan gambaran tentang lempeng benua
dalam arti orang Jawa jaman dahulu. Orang Jawa jaman dulu tidaklah
mengetahui ilmu geologi barat, mereka juga tidak memiliki kapa selam
yang mampu menyelam hingga ke dasar samudra seluruh Nusantara. Namun,
tanpa kita sadari, orang Jawa dahulu pernah mengatakan atau beranggapan
jika bumi Nusantara ini di topang oleh 3 naga besar yang melintang dan
membujur serta letaknya mirip dengan letak ketiga lempeng yang berada di
Indonesia saat ini. Maaf untuk namanya tiap naga saya lupa. Selain itu,
mereka juga beranggapan jika ketiga naga tersebut bertemu di daerah
Maluku. Serta, setiap kali ada gempa mereka juga beranggapan jika salah
satu naga tersebut sedang mengoletkan tubuhnya. Dari sini kita sudah
dapat memahami jika orang Jawa dulu telah mengetahui bagaiman gempa bumi
itu terjadi dan pola pergerakannya.
Dari
pengetahuan dan anggapan tersebut, maka orang Jawa selalu berusahan
membangun bentuk rumah atau bangunan yang memiliki kerusakan terkecil
jika terkena bencana gempa bumi yaitu rumah berbentuk Joglo. kenapa saya
juga beranggapan demikian? Itu karena saya melihat rumah-rumah Joglo asli
jaman dahulu itu tidak menggunakan paku, hanay menggunakan pasak untuk
mengambung tiap bagian. Selain itu, Joglo juga memiliki 4 pilar utama
pada bagian tengah rumah yang di hubungkan dengan kayu yang juga hanya
di masuk masukkan serta ujungnya di lebihkan. Pada mulanya melihat
bangunan tersebut saya bingung untuk apa sisa kayu yang menonjol keluar
hingga suatu saat saya memiliki anggapan jika itu untuk toleransi
pergerakan guncangan rumah jika sedang terkena gempa bumi. kita pun tahu
jika dengan pasak maka tingkat toleransi antar sambungan lebih tinggi
dari pada menggunakan paku.
Selain dari model
pilar bangunan, penempatan bangunan juga, yaitu bangunan Joglo juga
hanya menempatkan cakar ayam hanya pada pilarnya saja sehingga rumah
bangunan tersebut akan mudah menyesuaikan goncangan gempa dengan tujuan
untuk memperkecil resiko runtuhnya bangunan. Serta bentuk bangunan yang
terbuka lebar juga membuat para penghuni mudah keluar jika terjadi suatu
bencana alam.
Model bangunan yang disesuaikan
dengan keadaan alam dan bencana yang banyak berkunjung bukan saja di
tanah Jawa namun juga di berbagai daerah penjuru Nusantara lainya.
Misalnya orang Kalimantan membuat rumah panggung yang tinggi dengan
tujuan agar ketika terjadi pasang atau banjir besar rumah tersebut tetap
kering karena kit pun tahu jika Kalimantan dikelilingi suangai-sungai
besar. Kemudian saya juga pernah mendengar rumah Sunda yang terdiri atau
terbuat dari bambu dengan tujuan jika rumah tersebut terkena gempa dan
rusak mereka dapat dengan mudah untuk mengembalikannya ke bentuk rumah.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pentingnya Menghargai Kearifan Lokal"
Post a Comment