Seni itu pribadi pemiliknya, ungkapan
ini terpikirkan setelah saya menonton pertunjukan SIEM dan SIPA pada
bulan ini. mengapa saya berpikiran seperti itu, karena setelah menonton
pertungjukan-pertunjukan tersebut saya seperti berada di suasana daerah
dimana kesenian tersebut berada dan mengerti seperti apa kepribadian
dari daerah-daerah tersebut. Selain itu, saya juga beranggapan jika
setiap kesenian itu muncul dari suatu kepribadian masyarakat setempat.
Dalam
hal ini saya memberi beberapa contok yang begitu terlihat yaitu antara
orang Sumatera dengan orang Jawa. Dimata orang Jawa, orang Sumatera
nampak begitu tegas dan cepat dalam setiap saat dan segala sesuatu
diutarakan secara langsung, dan hal tersebut juga saya lihat dalam
bebagai bentuk lagu dan tarian yang berasal dari sana yang sebagian
besar bertempo tegas. Berbeda dengan orang Jawa yang di mata orang
Sumatera lemah lembut, kesenian yang berasal dari jawapun terlihat pelan
dan lembut.
Okey, disini saya akan mencoba membahas lebih lanjut
bagaimana saya beranggapan jika Seni itu Pribadi Pemiliknya. Namun,
tetap saja saya menulis dalam lingkup kesenian dan budaya yang berada di
Jawa.
Seni SastraSeni
sastra yang saya maksud dalam hal ini meliputi bentuk tulisan dan
bahasa. Jika kita melihat bentuk tulisan jawa, disana terlihat suatu
bentuk yang terluhat polos namun juga detail dan melengkung. Sehingga
dari tulisan tersebut, kita dapat mengatakan jika untuk menulis saja
harus membutuhkan kelembutan dan keuletan serta detail agar dapat
menghasilkan bentuk seperti itu. Ini bukan berarti tidak ada ketegasan
dalam diri orang Jawa, karena jika kita cermati kembali, tetap ada
unsur-unsur ketegasan yang terselip dalam tulisan tersebut. Yah bagi
saya orang Jawa memiliki suatu ketegasan tersembunyi di balik
kelembutannya.
Kemudian dari segi bahasa. orang Jawa sendiri
memiliki bahasa yang beragam sesuai kalangan dimana mereka sedang berada
dan berbicara (secara garis besar dibagi dua, yaitu Ngoko dan Krama).
dalam hal ini kita juga dapat menyimpulkan jika orang Jawa mampu
beradaptasi dan tahu diri dimana mereka berada dan berhadapan. Dihadapan
para petinggi, mereka tetap menghormati sedangkan di hadapan anak buah
mereka juga dapat dihormati. Namun, terkadang kita sering lupa akan
posisi-posisi kita berada karena kita terbiasa dengan 1 bahasa untuk
segala hal. Saat sekarang ini, jika kita jadi bawahan, kita sering
memposisikan diri kita menjadi bawahan dimana-mana walaupun itu di depan
anak atau bawahan kita saat kita telah naik jabatan. dan juga
sebaliknya saat jadi atasan kita sering memposisikan diri juga menjadi
atasan dimana kita berada tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi.
Bagi saya orang Jawa telah mampu memposisikan diri dimana mereka berada,
melalui tutur kata dan bahasa mereka.
Seni TarianJika
kita memperhatikan tarian Jawa disana sering terdapat perbedaan tempo
atau ketukan. Pada awal suatu tarian, tempo lambat kemudian bergerak
cepat dan menegas, dan melambat kemudian. Disini kita dapat melihat jika
orang Jawa itu lebih melihat suatu proses dalam kehidupan manusia.
Orang Jawa sadar jika menuju suatu puncak keberhasilan tertinggi manusia
itu perlu suatu perjalanan panjang dan pelan (tempo lambat pada awal)
dan kemudian kita akan mengalami keberhasilan kita dalam jalani
kehidupan apakah menyenangkan terhadap diri kita ataupun tidak (tempo
cepat dan tegas) setelah kita berhasil, kita akan mengalami kehidupan
tua untuk mengakhiri keberhasilan tersebut, dan sebaiknya kita
mengakhirinya secara pelan agar kita tidak merasakan begitu kehilangan
terhadap keberhasilan tersebut (tempo melambat kembali). Selain itu,
dalam kehidupan kita, juga diperlukan ketegasan yang kita selipkan dalam
proses tersebut agar keberhasilan tersebut sesuai keinginan kita
(gerakan-gerakan tegas dalam tarian yang sedikit-sedikit dikeluarkan
penari). Inilah yang menarik bagi saya karena saya melihat bahwa dalam
setiap kelembutan tarian Jawa ternyata terdapat suatu ketegasan dan
pelajaran dalam memaknai kehidupan.
Seni itu pribadi pemiliknya, ungkapan
ini terpikirkan setelah saya menonton pertunjukan SIEM dan SIPA pada
bulan ini. mengapa saya berpikiran seperti itu, karena setelah menonton
pertungjukan-pertunjukan tersebut saya seperti berada di suasana daerah
dimana kesenian tersebut berada dan mengerti seperti apa kepribadian
dari daerah-daerah tersebut. Selain itu, saya juga beranggapan jika
setiap kesenian itu muncul dari suatu kepribadian masyarakat setempat.
Dalam
hal ini saya memberi beberapa contok yang begitu terlihat yaitu antara
orang Sumatera dengan orang Jawa. Dimata orang Jawa, orang Sumatera
nampak begitu tegas dan cepat dalam setiap saat dan segala sesuatu
diutarakan secara langsung, dan hal tersebut juga saya lihat dalam
bebagai bentuk lagu dan tarian yang berasal dari sana yang sebagian
besar bertempo tegas. Berbeda dengan orang Jawa yang di mata orang
Sumatera lemah lembut, kesenian yang berasal dari jawapun terlihat pelan
dan lembut.
Okey, disini saya akan mencoba membahas lebih lanjut
bagaimana saya beranggapan jika Seni itu Pribadi Pemiliknya. Namun,
tetap saja saya menulis dalam lingkup kesenian dan budaya yang berada di
Jawa.
Seni Sastra
Seni
sastra yang saya maksud dalam hal ini meliputi bentuk tulisan dan
bahasa. Jika kita melihat bentuk tulisan jawa, disana terlihat suatu
bentuk yang terluhat polos namun juga detail dan melengkung. Sehingga
dari tulisan tersebut, kita dapat mengatakan jika untuk menulis saja
harus membutuhkan kelembutan dan keuletan serta detail agar dapat
menghasilkan bentuk seperti itu. Ini bukan berarti tidak ada ketegasan
dalam diri orang Jawa, karena jika kita cermati kembali, tetap ada
unsur-unsur ketegasan yang terselip dalam tulisan tersebut. Yah bagi
saya orang Jawa memiliki suatu ketegasan tersembunyi di balik
kelembutannya.
Kemudian dari segi bahasa. orang Jawa sendiri
memiliki bahasa yang beragam sesuai kalangan dimana mereka sedang berada
dan berbicara (secara garis besar dibagi dua, yaitu Ngoko dan Krama).
dalam hal ini kita juga dapat menyimpulkan jika orang Jawa mampu
beradaptasi dan tahu diri dimana mereka berada dan berhadapan. Dihadapan
para petinggi, mereka tetap menghormati sedangkan di hadapan anak buah
mereka juga dapat dihormati. Namun, terkadang kita sering lupa akan
posisi-posisi kita berada karena kita terbiasa dengan 1 bahasa untuk
segala hal. Saat sekarang ini, jika kita jadi bawahan, kita sering
memposisikan diri kita menjadi bawahan dimana-mana walaupun itu di depan
anak atau bawahan kita saat kita telah naik jabatan. dan juga
sebaliknya saat jadi atasan kita sering memposisikan diri juga menjadi
atasan dimana kita berada tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi.
Bagi saya orang Jawa telah mampu memposisikan diri dimana mereka berada,
melalui tutur kata dan bahasa mereka.
Seni Tarian
Jika
kita memperhatikan tarian Jawa disana sering terdapat perbedaan tempo
atau ketukan. Pada awal suatu tarian, tempo lambat kemudian bergerak
cepat dan menegas, dan melambat kemudian. Disini kita dapat melihat jika
orang Jawa itu lebih melihat suatu proses dalam kehidupan manusia.
Orang Jawa sadar jika menuju suatu puncak keberhasilan tertinggi manusia
itu perlu suatu perjalanan panjang dan pelan (tempo lambat pada awal)
dan kemudian kita akan mengalami keberhasilan kita dalam jalani
kehidupan apakah menyenangkan terhadap diri kita ataupun tidak (tempo
cepat dan tegas) setelah kita berhasil, kita akan mengalami kehidupan
tua untuk mengakhiri keberhasilan tersebut, dan sebaiknya kita
mengakhirinya secara pelan agar kita tidak merasakan begitu kehilangan
terhadap keberhasilan tersebut (tempo melambat kembali). Selain itu,
dalam kehidupan kita, juga diperlukan ketegasan yang kita selipkan dalam
proses tersebut agar keberhasilan tersebut sesuai keinginan kita
(gerakan-gerakan tegas dalam tarian yang sedikit-sedikit dikeluarkan
penari). Inilah yang menarik bagi saya karena saya melihat bahwa dalam
setiap kelembutan tarian Jawa ternyata terdapat suatu ketegasan dan
pelajaran dalam memaknai kehidupan.
Belum ada tanggapan untuk "Seni itu Pribadi Pemiliknya"
Post a Comment