Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, manusia harus menjalankan
tugas dan amanat kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Hidup tak
boleh dimaknai hanya sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi juga amanah
yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Manusia harus bekerja keras agar mampu mewariskan kebaikan yang besar
(leaving a legacy) bagi umat manusia. Kalau bisa, itu lebih besar
ketimbang usia yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam memaknai pekerjaan
yang dilakukan, manusia memiliki pemahaman yang beragam dan
berbeda-beda. Sekurang-kurangnya, ada empat tingkatan dalam soal ini.
Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk
bekerja. Ia memaknai pekerjaannya sekadar mencari sesuap nasi. Motif
utama pekerjaannya adalah fisik-material. Ini merupakan fenomena
kebanyakan orang (‘ammat al-nas).
Kedua, orang yang bekerja untuk memperkaya perkawanan (to love). Ia
memaknai pekerjaannya tak hanya mencari harta, tetapi memperbanyak
pergaulan dan pertemanan. Motif utama pekerjaannya adalah relasi-sosial,
silaturahim, atau komunikasi antar sesama manusia (interhuman
relations).
Ketiga, orang yang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai
pekerjaannya sebagai wahana mencari ilmu, menambah pengalaman, dan
menguji kemampuan. Jadi, berbeda dengan kedua orang sebelumnya, motif
utama kerja orang ketiga ini adalah intelektual.
Lalu, keempat, orang yang bekerja untuk berbagi kenikmatan dan
mewariskan kebaikan sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave a
legacy). Ia memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motif
utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Firman Allah, “Dan, aku
tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (QS Al-Dzariyat [51]: 56).
Orang keempat inilah orang terbaik seperti ditunjuk oleh sabda Nabi
SAW, “Khair-u al-nas anfa’uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah
orang yang paling besar mendatangkan manfaat bagi orang lain).” (HR
Thabrani dari Jabir).
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat itu bisa
diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada
orang lain, baik melalui harta (bi al-mal) maupun kuasa (bi al-jah) yang
kita miliki. Warisan kebaikan itu, menurut al-Manawi, bisa berupa
sesuatu yang manfaatnya duniawi, seperti donasi dan bantuan material,
atau bisa juga berupa sesuatu yang bernilai agama (ukhrawi), seperti
ilmu, pemikiran, dan ajaran yang mencerahkan dan membawa manusia kepada
kebaikan.
Malahan, menurut al-Manawi, warisan dalam wujud yang kedua ini
dianggap lebih mulia dibanding yang pertama. Mengapa? Sebab, yang kedua
ini mendatangkan manfaat lebih besar bagi manusia, tak hanya di dunia,
tetapi juga di akhirat kelak. Wallahu a’lam.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Mewariskan Kebaikan (Renungan)"
Post a Comment